Jumat, 18 Maret 2011

Mengartikan Semua Bidah adalah Dolalah

Pernah saya mendengar tanya jawab tentang bid'ah,dan begitu menarik untuk saya simak.

seorang pemuda bertanya kepada seorang ustadz tentang bid'ah...

1.Apakah pengertian bid'ah itu baik secara lughot maupun secara syara'?
2.Kalau memang bid'ah itu ada yg hasanah, lalu mengapa dlm hadits disebutkan "KULLU BID'ATIN DHOLAALATUN?
3.Di dlm kitab al-Umm Imam as-Syafi'i sendiri telah menyatakan menolak ISTIHSAN dgn judul bab IBTHOLUL ISTIHSAN, lalu bagaimanakah ttg hal ini?

dan kemudian seorang ustadz menjawabnya...

Bid'ah secara lughot adalah :
كل ما أحدث واخترع بغير مثال سابق
"Segala sesuatu yg dibuat-buat atau diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya".
Sedangkan menurut istilah syara' menurut jumhur 'ulama selain wahabiy adalah ...:
كل ما أحدث واخترع في دين الإسلام وليس له أصل في الشرع وهو من القرآن أو الحديث أو الإجماع أو القياس
"Segala sesuatu yg dibuat-buat atau di ada-adakan di dlm agama Islam yg tdk mempunyai dasar dari syari'at Islam, yaitu dari al-Qur'an atau al-Hadits atau Ijma' atau Qiyas".
Dan kalo menurut mbah wahabiy adalah :
كل ما أحدث واخترع في دين الإسلام بغير مثال سابق عن رسول الله صلى الله عليه وسلم
"Segala sesuatu yg dibuat-buat atau di ada-adakan di dlm agama Islam yg tdk ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW".

Lah ta'rif inilah yg menjadikan org2 wahabiy menjadi blunder dan bingung..

Adapun jawaban untuk pertanyaan yg kedua :

Lafadz KULLU BID'ATIN di situ membuang kata sifat,
sebagaimana firman Allah dlm surat al-Kahfi : 79,
"KULLA SAFIINATIN"
tiap-tiap perahu, kalau seandainya lafadz Kullu di sini diartikan secara lahiriyah yg ...bermakna keseluruhan tanpa terkecuali, lalu apa gunanya Nabi Khidlir merusak perahu???
toh nantinya semua perahu akan disita oleh sang Raja yg dzolim, dan hal ini jelas tdk mungkin, sehingga para ulama ahli tafsir, semisal Imam Ibnu Jarir at-Thabari menjelaskan bahwa setelah lafadz Safiinatin itu ada kata sifat yg dibuang, taqdirnya adalah lafadz
"Sayyiatin atau Qobihatin atau yg semaknanya dgn kedua lafadz ini".
Oleh sebab itu dlm redaksi hadits di atas juga membuang kata sifat yg seperti ini, yaitu
"KULLU BID'ATIN SAYYIATIN ATAU QOBIHATIN DHOLAALATUN".

Wallahu A'lam...

namun ada pula pendapat dari para santri-santri yang menjawab...

seperti pendapat para ulama dalam mendefinidikan Bid'ah,..

1., Imam Syafi'i...mengatakan bahwa bid'ah adalah segala hal baru yg terdapat setelah masa Rasulullah SAW,dan khulafa Al-Rasidun,.
2,. Ibnu Rajab Al-Hambali,seorang fuqoha hambali,..mendefinisikan bid'ah,.ialah sebagai sesuatu yg baru yg tidak ada dasar syari'atnya,.
3,.Al-syatibi,seorang fuqoha maliki menyatakan bahwa yg disebut Bid'ah adalah sesuatu Thariqah atau metode yg diciptakan menyerupai syariat dalam ajaran Agama untuk dikerjakan sebagai ibadah kpd Allah SWT,.

dari Aspek kajian Usul fiqh,..bid'ah di klasifikasikan menjadi dua bagian,..

1,.Bid'ah meliputi segala sesuatu yg diadaadakan dalam bidang ibadah saja atau segala yg sengaja diadaadakan dalam agama yg dipandang menyamai syari'at agama,..dan mengerjakannya secara berlebih2han dlm beribadah kpd Allah SWT,..
2,..Bid'ah meliputi segala urusan yg sengaja diadadakan dlm agama,..yg yg berkaitan dngn urusan ibadah maupun urusan adat,.
sedangkan dari aspek fiqh, bid'ah adalah perbuatan tercela yg diadaadakan dan bertentangan dgn al-qur'an,sunah maupun ijmak,bida'ah inilah yg dilarang oleh ajaran agama islam,.baik berupa perkataan maupun perbuatan,..
NAMUN dlm persoalan duniawi tidak termasuk dalam pengertian ini,..
lebih jauh para ulama mengklasifikasikan bid'ah menurut bahasa menjadi dua bagian,,yakni
BID'AH HASANAH ( inovasi yg baik ) dan
BID'AH SAYYI'AH ( inovasi yg jelek),..
bid'ah hasanah diklasifikasikan lagi menjadi Bid'ah wajibah,bid'ah mandubah, dan bid'ah mubahah,..
sedangkan bid'ah sayyi'ah diklasifikasikan menjadi bid'ah makruhah dan bid'ah muhrramah..

memang semua ilmu itu harus terus dicari agar mencapai titik temu.

ada juga yang mengatakan,bahwa bid'ah telah dimulai sejak zaman Rosulullah...

Ada beberapa kebiasan yang dilakukan para sahabat berdasarkan ijtihad mereka sendiri, dan kebiasaan itu mendapat sambutan baik dari Rasulullah SAW. Bahkan pelakunya diberi kabar gembira akan masuk surga, mendapatkan rida Allah, diangkat derajatnya oleh Allah, atau dibukakan pintu-pintu langit untuknya.

Misalnya, sebagaimana digambarkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, perbuatan sahabat Bilal yang selalu melakukan shalat dua rakaat setelah bersuci. Perbuatan ini disetujui oleh Rasulullah SAW dan pelakunya diberi kabar gembira sebagai orang-­orang yang lebih dahulu masuk surga.

Contoh lain adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tentang sahabat Khubaib yang melakukan shalat dua rakaat sebelum beliau dihukum mati oleh kaum kafir Quraisy. Kemudian tradisi ini disetujui oleh Rasulullah SAW setahun setelah meninggalnya.

Selain itu, sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Rifa'ah ibn Rafi' bahwa seorang sahabat berkata: "Rabbana lakal hamdu" (Wahai Tuhanku, untuk-Mu segala puja-puji), setelah bangkit dari ruku' dan berkata "Sami'allahu liman hamidah" (Semoga Allah mendengar siapapun yang memuji­Nya). Maka sahabat tersebut diberi kabar gembira oleh Rasulullah SAW.

Demikian juga, sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Mushannaf Abdur Razaq dan Imam An-Nasa'i dari Ibn Umar bahwa seorang sahabat memasuki masjid di saat ada shalat jamaah. Ketika dia bergabung ke dalam shaf orang yang shalat, sahabat itu berkata: "Allahu Akbar kabira wal hamdulillah katsira wa subhanallahi bukratan wa ashilan" (Allah Mahabesar sebesar-besarnya, dan segala puji hanya bagi Allah sebanyak-banyaknya, dan Mahasuci Allah di waktu pagi dan petang). Maka Rasulullah SAW memberikan kabar gembira kepada sahabat tersebut bahwa pintu­pintu langit telah dibukakan untuknya.

Hadis lain yang diriwayatkan oleh At- Tirmidzi bahwa Rifa'ah ibn Rafi' bersin saat shalat, kemudian berkata: "Alhamdulillahi katsiran thayyiban mubarakan 'alayhi kama yuhibbu rabbuna wa yardha" (Segala puji bagi Allah, sebagaimana yang disenangi dan diridai-Nya). Mendengar hal itu, Rasulullah SAW bersabda: "Ada lebih dari tiga puluh malaikat berlomba-lomba, siapa di antara mereka yang beruntung ditu­gaskan untuk mengangkat perkataannya itu ke langit."

Demikian juga hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam An-Nasa'i dari beberapa sahabat yang duduk berzikir kepada Allah. Mereka mengungkapkan puji-pujian sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah karena diberi hidayah masuk Islam, sebagaimana mereka dianugerahi nikmat yang sangat besar berupa kebersamaan dengan Rasulullah SAW. Melihat tindakan mereka, Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Jibril telah memberitahuku bahwa Allah sekarang sedang berbangga-bangga dengan mereka di hadapan para malaikat."

Dari tindakan Rasulullah SAW yang menerima perbuatan para sahabat tersebut, kita bisa menarik banyak pelajaran sebagai berikut:

1. Rasulullah SAW tidak akan menolak tindakan yang dibenarkan syariat selama para pelakunya berbuat sesuai dengan pranata so sial yang berlaku dan membawa manfaat umum. Dengan demikian, perbuatan tersebut bisa dianggap sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Swt yang bisa dilakukan kapan saja, baik di malam maupun siang. Perbuatan ini tidak bisa disebut sebagai perbuatan yang makruh, apalagi bid'ah yang sesat.

2. Orang Islam tidak dipersoalkan karena perbuatan ibadah yang bersifat mutlak, yang tidak ditentukan waktunya dan tempatnya oleh syariat. Terbukti bahwa Rasulu1lah SAW telah membolehkan Bilal untuk melakukan shalat setiap selesai bersuci, sebagaimana menerlma perbuatan Khubaib yang shalat dua rakaat sebelum menjalani hukuman mati di tangan kaum kafir Quraisy.

3. Tindakan Nabi SAW yang membolehkan bacaan doa-doa waktu shalat, dan redaksinya dibuat sendiri oleh para shahabat, atau juga tindakan beliau yang membolehkan dikhususkannya bacaan surat-surat tertentu yang tidak secara rutin dibaca oleh beliau pada waktu shalat, tahajjud, juga doa-­doa tambahan lain. Itu menunjukkan bahwa semua perbuatan tersebut bukanlah bid'ah menurut syariat. Juga tidak bisa disebut sebagai bid'ah jika ada yang berdoa pada waktu-waktu yang mustajabah, seperti setelah shalat lima waktu, setelah adzan, setelah merapatkan barisan (dalam perang), saat turunnya hujan, dan waktu-waktu mustajabah lainnya. Begitu juga doa-doa dan puji­-pujian yang disusun oleh para ulama dan orang­ orang shalih tidak. bisa disebut sebagai bid'ah. Begitu juga zikir-zikir yang kemudian dibaca secara rutin selama isinya masih bisa dibenarkan oleh syariat.

4. Dari persetujuan Nabi SAW terhadap tindakan beberapa sahabat yang berkumpul di masjid untuk berzikir dan menyukuri nikmat dan kebaikan Al­lah Swt serta untuk membaca Al-Qur'an, dapat disimpulkan bahwa tindakan mereka mendapatkan legitimasi syariat, baik yang dilakukan dengan suara pelan ataupun dengan suara keras tanpa ada perubahan makna dan gangguan. Dan selama tindakan tersebut bersesuaian dengan kebutuhan umum dan tidak ada larangan syariat yang ditegaskan terhadapnya, maka perbuatan tersebut termasuk bentuk mendekatkan diri kepada Allah, dan bukan termasuk bid'ah menurut syariat.

padahal melakukan bid'ah itu asyik banget...

di pesantren utamanya para kyai mengajarkan berbagai ajaran bid’ah. Tidak perlu disebut-sebut lah sudah paham semuanya jenis-jenis apasaja yang dianggap bid’ah menurut konsumsi umum. Namun  apakah bid'ah itu berlaku untuk semua ibadah wajib dan sunnah bahkan bid'ah juga berlaku bagi amalan yang bukan sunah bukan pula wajib?
 
Bagi saya sih, tak menjadi pusing manakala bid’ah dijadikan sebagai stempel untuk menyerang komunitas orang-orang yang berada di pesantren. Apakah ketidakpedulian ini membawa dampak tololnya hati nurani, atau menunjukkan dangkalnya keberislaman?

Nanti dulu, jangan terburu-buru bernafsu untuk menuduh itu. Sebab para kyai dan ulama sebelumnya sejak abad 2 Hijriyah perlakuan “bid’ah-bid’ah” itu sudah berkembang. Kemudian gencar sekali di zaman sekarang ini komunitas tertentu itu mewacanakan bid’ah. Patut diduga, jika dahulu tidak seramai sekarang menurut kawan saya ada apa dibalik udang? bukan dibalik batu.

Singkat bicara, tanpa bid’ah islam tidak akan berkembang. Justru dengan bid’ah penganut islam semakin meresapi basahnya karunia Allah. Namun tanpa bid’ah akan kering dan sulit menjadi bersahaja.

Bid’ah itu justru disuruh oleh Nabi Muhammad saw, saat seorang bertanya apa kewajiban setelah shalat lima waktu maka Nabi saw menjawab “tatowwu’  yang menunjukkan shalat sunnah tanpa batasan. Mau berapa saja tanpa perlu dicontohkan Nabi. Tidak heran jika Habib Lutfi pernah ditulis oleh sebuah majalah saat wartawan bertanya: apa olahraga Habib yang paling disukai: “Olahraga saya adalah shalat tanpa membatasi rokaat’ jawab beliau.

Begitulah dengan puasa sunnah, silahkan berbid’ah dengan melakukan puasa sunnah semau dan sebanyak mungkin. Apakah puasa lima hari seminggu misalnya dicontohkan Nabi? tentu tidak! apakah puasa setahun penuh dicontohkan Rasulullah saw tentu tidak namun itu sah-sah saja, karena Nabi sudah membolehkan dengan ungkapan “tatowwu” .
 
Inti postingan sepanjang ini cuma mau bilang pada bait ini saja:
Bid’ah (sesuatu yang tidak dicontohkan Nabi saw) itu dikatakan sesat, jika berani mengubah amalan wajib seperti shalat, puasa dll. Sementara yang sunnah bid’ah dibebaskan. Artinya, meski Nabi saw tidak melakukannya, maka bid’ah dalam sunnah dibolehkan. Contoh gampangnya Shalat taraweh 23 rokaat atau 60 atau shalat sunnah mutlak 300 rokaat seperti yang dilakukan Imam Syafi’i ra atau Anda mau 100 rokaat seminggu? itu bebas meski Nabi tidak mencontohi.

Sebab dengan banyak melakuan amalan sunnah meski bid’ah (tidak dicontohkan nabi tapi hanya sunnah) berarti akan menambahkan aset  nilai pahala jika tidak mengerjakan maka tidak ada dosa.


Repotnya, jika kerancuan asal tuduh bid’ah itu dibawa-bawa hingga ke masalah amalan sunnah jadi bumerang sendiri. Contohnya shalat taraweh 23 rokaat yang dilakukan di Masjidil Haram, Mekkah, apakah ulama di sana lebih bodoh daripada di Indoensia yang mengajarkan bahwa taraweh itu hanya 8 rakaat?

Nah jadi repot sendiri kan kalau klaim bid’ah itu dibawa-bawa ke masalah yang sunnah. Karenanya janganlah ragu dan bimbang persoalan yang sudah diwacanakan oleh para ulama sejak abad 2 hijrah itu dipermasalahkan di zaman ngeblog dan nuklir ini.  
So, berbid’ahlah kepada masalah sunnah sebagaimana kalangan santri yang getol melakukan bid’ah. Karena bid’ahku bid’ah kita semua. 

Wallahu a’lam.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar